Jika mencari kata ‘Stasiun Balapan’ di internet, maka akan banyak ditemukan sisipan kata-kata ‘bersejarah’ yang menyertainya. Stasiun Solo Balapan atau lebih dikenal dengan nama Stasiun Balapan ini memang menyimpan banyak sejarah sejak dibangun mulai tahun 1864 dan dioperasikan pada tahun 1870. Arsiteknya saat itu bernama Herman Thomas Karsten.
Modernisasi Pulau Jawa menjadi semangat untuk membangun Stasiun Balapan. Nama ‘balapan’ sendiri berasal dari awal mula penggunaan lahan stasiun tersebut, yaitu lahan Alun-alun Utara milik Keraton Mangkunegaran yang terdapat arena pacuan kuda atau disebut juga balapan. Lahan ini juga dipilih karena lokasinya dekat dengan Pasar Legi dan pemukiman orang-orang kaya Eropa pada zamannya.
Stasiun yang kini termasuk dalam Daerah Operasi (Daop) VI Yogyakarta ini, merupakan stasiun tertua kedua di Indonesia dan juga merupakan stasiun kedua yang menggunakan sistem sinyal elektrik setelah stasiun Bandung. Sistem persinyalan ini dibuat oleh Siemens pada 1972. Kemudian, pada Oktober 2020, sistem persinyalan digantikan dengan yang terbaru menggunakan produksi PT Len Industri.
Kini Stasiun Balapan sudah mengalami banyak perombakan. Meski begitu, Stasiun Balapan telah menjadi saksi bisu beragam sejarah Indonesia. Mulai dari keberangkatan Pakubuwono X dari stasiun ini saat akan menikahi putri Hamengku Buwono VII hingga pengangkutan Massa Sarikat Islam saat akan melaksanakan Kongres Sarikat Islam di Solo.